BAB
III
PENYELESAIAN
3.1.
Peran Serta Negara-Negara Arab Dalam Penyelesaian Konflik Di Yaman.
Keterlibatan
negara-negara Arab dalam penyelesaian konflik di Yaman sangat diperlukan,
apalagi setelah Amerika Serikat mengumumkan penarikan pasukannya dari Yaman.
Amerika Serikat –AS telah mengevakuasi semua personelnya dari Yaman, sehari
setelah bom bunuh diri yang menewaskan paling tidak 137 orang di dua masjid di
ibukota negara itu.
Departemen Luar
Negeri AS merilis pernyataan tersebut Sabtu (21/3/2015) malam waktu setempat.
Sekitar 100 tentara khusus Amerika sempat ditempatkan di pangkalan udara
al-Anad, yang juga menjadi tempat peluncuran serangan-serangan pesawat tanpa
awak terhadap militan Al Qaeda di Yaman. Namun demikian, Amerika akan terus
memantau secara aktif ancaman teror dari wilayah Yaman dan menyiagakan diri
untuk mengatasi ancaman tersebut.
Di tengah
memburuknya situasi keamanan, Presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi, pada
Sabtu lalu berpidato untuk pertama kalinya lewat televisi sejak melarikan diri
dari tahanan rumah di ibukota bulan lalu. Saat berbicara dari kota Aden, Hadi
menuntut pemberontak Houthi Syiah agar meninggalkan semua gedung pemerintah
yang mereka duduki, menarik mundur pasukan dari ibukota dan kembali ke
perundingan yang ditengahi PBB.
Melihat situasi
yang semakin memburuk di Yaman, Menteri luar negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal,
Senin (23/3/2015), angkat bicara. Menurut Faisal, negara-negara Arab akan
mengambil “langkah-langkah yang perlu” dalam menghadapi pemberontak Houthi di Yaman
jika tidak tercapai kesepakatan damai. Artinya negara-negara Arab akan berusaha
“melindungi kawasan itu dari agresi” dan mengutuk apa yang disebut “campur
tangan” Iran di Yaman.
Apa yang membuat
negara-negara Arab akan membantu Yaman dalam menghadapi pemberontak Syiah
Houthi? Alasan pertama adalah adanya permintaan langsung dari Presiden Yaman
Abd-Rabbu Mansour Hadi agar negara-negara Arab melakukan intervensi militer
terhadap pemberontak syiah Houthi. Memang Presiden Mansour Hadi tidak menyebutkan
secara jelas intervensi militer yang dimaksudkan, hanya menegaskan pemberontak
Houthi harus dihentikan. Alasan kedua adalah keamanan negara-negara Arab,
khususnya tetangga terdekat Yaman, seperti Arab Saudi. Tidak tertutup
kemungkinan setelah menguasai Yaman, pemberontak Syiah Houthi yang mendapat
dukungan dari Iran akan menyerang negara-negara lainnya di kawasan itu,
terutama yang menganut paham yang berseberangan dengan paham mereka.
Untuk mencegah pengaruh “perang
saudara” di Yaman menyebar ke negara tetangganya, maka campur tangan
negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi sangat diperlukan. Tapi perlu diingat
bahwa tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan kekuatan militer.
Perang saudara di Yaman meletus karena adanya dua paham yang berbeda, yang mana
satu kelompok merasa ditekan oleh kelompok yang lainnya. Seharusnya masalah
seperti ini dapat diselesaikan dengan pembicaraan damai.
Seorang menteri
Kabinet Arab Saudi direncanakan memulai pembicaraan di Islamabad pada Senin
malam mengenai konflik Yaman.
Beberapa hari
sebelumnya Parlemen Pakistan dengan suara bulat mendesak pemerintah agar
mempertahankan sikap netral dalam perang pimpinan Arab Saudi melawan petempur
Syiah Yaman, Al-Houthi.
Arab Saudi telah
meminta Pakistan mengirim jet tempur, kapal perang dan tentara darat untuk
perang tersebut ketika Menteri Pertahanan Pakistan Khwaja Asif dan beberapa
pejabat senior militer mengunjungi Kerajaan Teluk itu pada bulan ini.
Uni Emirat Arab
(UAE), salah sekutu Arab Saudi dalam konflik tersebut, mengutuk keputusan
Pakistan itu dan memperingatkan Islamabad nantinya harus membayar mahal atas
keputusan tersebut.
Pakistan menepis
kecaman itu dan menyebut ancaman UAE sebagai penghinaan terhadap Parlemen
Pakistan.
Menteri Urusan Islam Arab Saudi Sheikh Saleh bin Abdulaziz bin Mohammed Ash-Sheikh, yang tiba di Islamabad pada Ahad malam, dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Pakistan mengenai peran Islamabad dalam konflik di Yaman.
Menteri Urusan Islam Arab Saudi Sheikh Saleh bin Abdulaziz bin Mohammed Ash-Sheikh, yang tiba di Islamabad pada Ahad malam, dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Pakistan mengenai peran Islamabad dalam konflik di Yaman.
Menteri Arab Saudi
itu, yang berusaha menepis kesan mengenai adanya ketegangan dengan Pakistan,
mengatakan dalam pernyataannya setibanya di Islamabad bahwa pesan dengan suara
bulat di dalam resolusi oleh Parlemen Pakistan adalah urusan dalam negeri
Pakistan.
Resolusi 12-pasal
tersebut, yang secara bersama dirancang oleh oposisi dan komisi keuangan,
menyatakan parlemen "ingin Pakistan mempertahankan sikap netral dalam
konflik di Yaman agar bisa memainkan peran diplomatik proaktif guna mengakhiri
krisis tersebut". Resolusi tersebut disahkan dengan dihadiri Perdana
Menteri Nawaz Sharif, Jumat (10/4), pada akhir debat lima-hari.
Mayoritas anggota
Parlemen menentang keikutsertaan Pakistan dalam konflik di Timur Tengah dengan
alasan negara Asia Selatan tersebut masih menderita akibat perannya dalam
koalisi pimpinan AS, yang telah menggulingkan rejim Taliban di negara
tetangganya, Afghanistan, pada pengujung 2001.
Menteri Arab Saudi
tersebut dijadwalkan mengadakan pembicaraan resmi dengan timpalannya dari
Pakistan Sardar Yousaf dan diperkirakan menemui Perdana Menteri Nawaz Sharif. Pakistan
saat ini menempatkan hampir 1.000 prajurit di Arab Saudi, tapi mereka tidak
ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Yaman, kata Menteri Pertahanan Asif.
Rakyat Pakistan
terpecah mengenai dukungan militer negeri tersebut dalam konflik Yaman. Namun
sangat banyak warga di negara Asia Selatan itu ingin mempertahankan Arab Saudi
jika keutuhan wilayah Kerajaan Teluk tersebut terancam mengingat di sana terdapat
Tempat Suci Umat Muslim.
3.2.
Peran PBB
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyiapkan dana sebesar 275 miliar dolar AS atau
sekitar Rp 3.500 triliun sebagai program kemanusiaan guna menyelesaikan konflik
Yaman. Dana tersebut akan digunakan untuk membantu warga sipil yang
terperangkap dalam konflik yang semakin memburuk di Yaman.
Dilansir dari BBC,
Ahad (19/4), sekitar 150 ribu warga telah mengungsi akibat pertempuran. Selain
itu, menurut PBB masih ada 12 juta orang kekurangan makanan. Sebelumnya,
pasukan koalisi yang dipimpin Saudi telah membom pihak pemberontak Yaman.
Koalisi itu berhasil membom 18 dari 22 provinsi wilayah kekuasaan pemberontak
di Yaman. Hal itu malah makin memperburuk krisis kemanusiaan yang ada.
PBB mengatakan 731 orang tewas dan 2.754 terluka. Korban lebih
banyak dari warga sipil antara bulan Maret dan April. "Keluarga yang
berjuang untuk mengakses layanan kesehatan, air, makanan dan bahan bakar
merupakan persyaratan dasar untuk kelangsungan hidup mereka," kata
Johannes Van Der Klaauw, koordinator kemanusiaan PBB untuk Yaman."
Untuk meningkatkan bantuan, kita sangat membutuhkan sumber daya
tambahan. Saya mendorong donor untuk bertindak sekarang untuk mendukung rakyat
Yaman saat ini sangat membutuhkan," tuturnya.
PBB mengatakan setidaknya 150 ribu orang terlantar akibat
pertempuran itu. Banyak dari mereka berada di tempat penampungan sementara.
Bahkan menurut PBB, sebelum konflik saat ini, ada 15,9 juta orang atau 61
persen dari populasi Yaman diperkirakan membutuhkan beberapa jenis bantuan kemanusiaan.
PBB telah mencoba membawa pihak-pihak yang bertikai kembali berunding, namun
masih belum ada nada positif mengenai hal ini.
Pada Selasa 7 April, WHO melaporkan sedikitnya 540 orang
tewas dan 1.700 lainnya terluka selama hampir tiga pekan itu.
"Keadaan kemanusiaan sangat genting dengan pemadaman
listrik dan air serta kekurangan bahan bakar semakin memperburuk keadaan,"
demikian pernyataan WHO.
WHO memperkirakan Yaman memerlukan sekira USD62 juta (Rp620
miliar) untuk membayar kebutuhan kesehatannya. Sejauh ini, WHO menerima USD2,7
juta (Rp27 miliar) sumbangan dari Jepang.
Dalam sidang dengan Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah kunjungan-kunjungannya ke
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, pada Kamis (12 Februari), Sekretaris Jenderal
(Sekjen) PBB, Ban Ki-moon memperingatkan bahwa Yaman “sedang runtuh”
dan DK PBB tidak bisa berpangku tangan saja. Dia
mencela pasukan Houthi, kelompok milisi sekte Syiah yang telah memojokkan Yaman
ke dalam situasi huru-hara setelah menduduki ibukota Sanaa sejak September 2014
dan merebut kontrol Pemerintah pada pekan lalu. Menurut Sekjen Ban Ki-moon, ini
merupakan tindakan kudeta dan pasukan Houthi harus mengembalikan kekuasaan
serta menghapuskan tahanan rumah terhadap Presiden dan Perdana Menteri Yaman.
Instabilitas
keamanan dan politik di Yaman telah memaksa banyak negara Barat, diantaranya ada
Amerika Serikat, Inggeris, Perancis dan Jerman menutup Kedutaan Besarnya di
Sanaa, mengungsikan staf diplomat dan keluarga mereka pulang kembali ke kampung
halaman, bersamaan itu memperingatkan para warga negaranya supaya
secepat-cepatnya meninggalkan Yaman. Para staf Kedutaan Besar Amerika Serikat
telah memusnahkan semua dokumen rahasia dan peralatan yang sensitif sebelum
menarik kembali ke Tanah Air.
3.3 Peran
Indonesia
Jika
Indonesia tidak memanfaatkan potensi Muslim mayoritasnya sebagai kekuatan untuk
loby ketika ada konflik di Timur tengah maka sama saja Pemerintah melakukan
pengabaian terhadap warganya, imbas dari kealpaan itu adalah pemulangan WNI
besar-besaran dari Irak, Suriah dan kini Yaman. Jumlah WNI di Yaman
4.159 orang dengan perincian 2.626 Mahasiswa, 1.488 Pekerja perusahaan Minyak
dan Gas serta sisanya staf Kedutaan.
Saat ini kita tidak melihat Indonesia mengambil peran penting
dalam menetralkan situasi yang bergejolak di Timur Tengah, padahal Indonesia
memiliki kepentingan besar jika situasi aman dapat berlangsung permanen.
Mestinya Pemerintah mendesak Konfrensi Negara-Negara Islam untuk menghentikan
agresi, invasi Arab Saudi dan 10 negara pendukungnya terhadap Yaman, bahkan
membawa persoalan ini kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selanjutnya Indonesia mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengambil peran
menghentikan kehebohan yang hanya mengorbankan warga sipil yang tidak berdosa.
Menurut Dewan HAM PBB tercatat 93 warga sipil tewas, 364
lainnya terluka setelah gempuran pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi 6 hari
terakhir untuk mengusir Al Houti dan angka ini akan terus bertambah seiring
tidak adanya upaya gencatan senjata yang difasilitasi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa,OKI dan lain sebagainya. Indonesia yang memiliki politik luar
negeri “Bebas Aktif” tidak diperankan kembali oleh rezim hari ini.
Rezim jangan hanya larut mencari Investasi tapi juga tetap
memperlihatkan dirinya sebagai bagian dari perdamaian dunia, karena itu wajib
bagi Indonesia untuk berdialog dengan rezim Arab Saudi serta sekutunya agar
menghentikan invasi terhadap Negeri Yaman. Jika dalam waktu dekat Pemerintah
tidak bisa mengambil peran aktif maka dampaknya sejumlah Negara Arab termasuk
Yaman akan sulit menjadi tempat belajar bagi para Mahasiswa Indonesia yang
menuntut ilmu di Timur Tengah, serta Tenaga Kerja Indonesia kehilangan lahan
kerja di Timur tengah.
Satu lagi momen yang bisa digunakan meskipun itu sangat terlambat
yaitu Konfrensi Asia Afrika (KAA) yang akan di gelar di Bandung dalam waktu
dekat, kemungkinan KAA akan dihadiri oleh 35 Negara dan baru 27 yang memberikan
konfirmasi kedatangannya. Mungkinkah panitia bisa menambah agenda konferensi
menajamkan sorotan negara-negara Asia Afrika terhadap konflik di Timur Tengah,
lebih khusus dan urgen di Yaman. Bisakah KAA merekomendasikan
penghentian invasi Saudi Arabia dan 10 sekutunya yang kini menjadi imperialisme
baru sesama negara Arabnya, sekali lagi Indonesia memiliki peran strategis
untuk perdamaian dunia yang harus digunakan.
No comments:
Post a Comment