Showing posts with label Arab-Yaman. Show all posts
Showing posts with label Arab-Yaman. Show all posts

Monday, 13 July 2015

BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan kami, suku Al-Houthi (Ansarullah) hanyalah satu dari sekian banyak aktor yang terlibat konflik di Yaman dan awalnya tidak dominan. Yaman sejak awal telah dilanda konflik internal yang ruwet, melibatkan sangat banyak suku, ‘aliran agama’, kelompok bisnis, dan dinasti/keluarga (yang saya tulis di atas hanya ringkasan saja). Namun, kesolidan dan strategi Ansarullah dalam membangkitkan kekuatan rakyat tertindas rupanya berhasil membawa mereka naik ke permukaan melawan dominasi elit yang berkuasa selama 37 tahun terakhir. Dan ‘gara-gara’ kelompok ini bermazhab Syiah, dengan segera isu yang dimainkan adalah isu mazhab.
Namun yang perlu dicatat, lihat lagi peta Yaman-Arab Saudi (lampiran), potensi ekonomi dan geopolitik yang sangat besarlah yang menjadi pivotal factor bagi negara-negara kuat untuk menggelontorkan dana sangat besar untuk membiayai faksi-faksi yang berseteru di Yaman.
Aktor asing terkuat di Yaman, tentu saja AS, yang sejak 2001 menggelontorkan ratusan juta dollar (triliunan rupiah) untuk rezim Saleh. AS juga menginvestasi dana dan perlengkapan militer tercanggihnya di Pulau Socotra. Di saat yang sama, AS meraup untung besar dari perdagangan senjata ke negara-negara Arab dan Teluk. Kemudian ketika pemerintahan boneka terbentuk, perusahaan-perusahaan AS pula yang dipastikan akan mendapatkan berbagai kontrak infrastruktur dan minyak (seperti yang terjadi di Libya dan Irak).
            Untuk penyelesaian konflik Arab Saudi—Yaman ini, berbagai pihak ikut ambil bagian dalam mengusahakannya. PBB pun ikut ambil bagian dalam upaya menciptakan perdamaian di sana. Indonesia juga ikut mengupayakan agar segera tersselesaikan konflik antara Arab Saudi dengan Yaman.
            Berbagai upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak demi meredakan konflik di tanah Arab ini, namun hingga makalah ini dibuat, konflik ini belum juga menunjukkan adanya titik perdamaian.


DAFTAR PUSTAKA

BAB III
PENYELESAIAN

3.1. Peran Serta Negara-Negara Arab Dalam Penyelesaian Konflik Di Yaman.
Keterlibatan negara-negara Arab dalam penyelesaian konflik di Yaman sangat diperlukan, apalagi setelah Amerika Serikat mengumumkan penarikan pasukannya dari Yaman. Amerika Serikat –AS telah mengevakuasi semua personelnya dari Yaman, sehari setelah bom bunuh diri yang menewaskan paling tidak 137 orang di dua masjid di ibukota negara itu.    
Departemen Luar Negeri AS merilis pernyataan tersebut Sabtu (21/3/2015) malam waktu setempat. Sekitar 100 tentara khusus Amerika sempat ditempatkan di pangkalan udara al-Anad, yang juga menjadi tempat peluncuran serangan-serangan pesawat tanpa awak terhadap militan Al Qaeda di Yaman. Namun demikian, Amerika akan terus memantau secara aktif ancaman teror dari wilayah Yaman dan menyiagakan diri untuk mengatasi ancaman tersebut.    
Di tengah memburuknya situasi keamanan, Presiden Yaman, Abd-Rabbu Mansour Hadi, pada Sabtu lalu berpidato untuk pertama kalinya lewat televisi sejak melarikan diri dari tahanan rumah di ibukota bulan lalu. Saat berbicara dari kota Aden, Hadi menuntut pemberontak Houthi Syiah agar meninggalkan semua gedung pemerintah yang mereka duduki, menarik mundur pasukan dari ibukota dan kembali ke perundingan yang ditengahi PBB.   
Melihat situasi yang semakin memburuk di Yaman, Menteri luar negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal, Senin (23/3/2015), angkat bicara. Menurut Faisal, negara-negara Arab akan mengambil “langkah-langkah yang perlu” dalam menghadapi pemberontak Houthi di Yaman jika tidak tercapai kesepakatan damai. Artinya negara-negara Arab akan berusaha “melindungi kawasan itu dari agresi” dan mengutuk apa yang disebut “campur tangan” Iran di Yaman.   
Apa yang membuat negara-negara Arab akan membantu Yaman dalam menghadapi pemberontak Syiah Houthi? Alasan pertama adalah adanya permintaan langsung dari Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour Hadi agar negara-negara Arab melakukan intervensi militer terhadap pemberontak syiah Houthi. Memang Presiden Mansour Hadi tidak menyebutkan secara jelas intervensi militer yang dimaksudkan, hanya menegaskan pemberontak Houthi harus dihentikan. Alasan kedua adalah keamanan negara-negara Arab, khususnya tetangga terdekat Yaman, seperti Arab Saudi. Tidak tertutup kemungkinan setelah menguasai Yaman, pemberontak Syiah Houthi yang mendapat dukungan dari Iran akan menyerang negara-negara lainnya di kawasan itu, terutama yang menganut paham yang berseberangan dengan paham mereka.
Untuk mencegah pengaruh “perang saudara” di Yaman menyebar ke negara tetangganya, maka campur tangan negara-negara Arab, khususnya Arab Saudi sangat diperlukan. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan kekuatan militer. Perang saudara di Yaman meletus karena adanya dua paham yang berbeda, yang mana satu kelompok merasa ditekan oleh kelompok yang lainnya. Seharusnya masalah seperti ini dapat diselesaikan dengan pembicaraan damai.
Seorang menteri Kabinet Arab Saudi direncanakan memulai pembicaraan di Islamabad pada Senin malam mengenai konflik Yaman.
Beberapa hari sebelumnya Parlemen Pakistan dengan suara bulat mendesak pemerintah agar mempertahankan sikap netral dalam perang pimpinan Arab Saudi melawan petempur Syiah Yaman, Al-Houthi.
Arab Saudi telah meminta Pakistan mengirim jet tempur, kapal perang dan tentara darat untuk perang tersebut ketika Menteri Pertahanan Pakistan Khwaja Asif dan beberapa pejabat senior militer mengunjungi Kerajaan Teluk itu pada bulan ini.
Uni Emirat Arab (UAE), salah sekutu Arab Saudi dalam konflik tersebut, mengutuk keputusan Pakistan itu dan memperingatkan Islamabad nantinya harus membayar mahal atas keputusan tersebut.
Pakistan menepis kecaman itu dan menyebut ancaman UAE sebagai penghinaan terhadap Parlemen Pakistan.
Menteri Urusan Islam Arab Saudi Sheikh Saleh bin Abdulaziz bin Mohammed Ash-Sheikh, yang tiba di Islamabad pada Ahad malam, dijadwalkan mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin Pakistan mengenai peran Islamabad dalam konflik di Yaman.
Menteri Arab Saudi itu, yang berusaha menepis kesan mengenai adanya ketegangan dengan Pakistan, mengatakan dalam pernyataannya setibanya di Islamabad bahwa pesan dengan suara bulat di dalam resolusi oleh Parlemen Pakistan adalah urusan dalam negeri Pakistan.
Resolusi 12-pasal tersebut, yang secara bersama dirancang oleh oposisi dan komisi keuangan, menyatakan parlemen "ingin Pakistan mempertahankan sikap netral dalam konflik di Yaman agar bisa memainkan peran diplomatik proaktif guna mengakhiri krisis tersebut". Resolusi tersebut disahkan dengan dihadiri Perdana Menteri Nawaz Sharif, Jumat (10/4), pada akhir debat lima-hari.
Mayoritas anggota Parlemen menentang keikutsertaan Pakistan dalam konflik di Timur Tengah dengan alasan negara Asia Selatan tersebut masih menderita akibat perannya dalam koalisi pimpinan AS, yang telah menggulingkan rejim Taliban di negara tetangganya, Afghanistan, pada pengujung 2001.
Menteri Arab Saudi tersebut dijadwalkan mengadakan pembicaraan resmi dengan timpalannya dari Pakistan Sardar Yousaf dan diperkirakan menemui Perdana Menteri Nawaz Sharif. Pakistan saat ini menempatkan hampir 1.000 prajurit di Arab Saudi, tapi mereka tidak ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Yaman, kata Menteri Pertahanan Asif.
Rakyat Pakistan terpecah mengenai dukungan militer negeri tersebut dalam konflik Yaman. Namun sangat banyak warga di negara Asia Selatan itu ingin mempertahankan Arab Saudi jika keutuhan wilayah Kerajaan Teluk tersebut terancam mengingat di sana terdapat Tempat Suci Umat Muslim.
3.2. Peran PBB
          Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyiapkan dana sebesar 275 miliar dolar AS atau sekitar Rp 3.500 triliun sebagai program kemanusiaan guna menyelesaikan konflik Yaman. Dana tersebut akan digunakan untuk membantu warga sipil yang terperangkap dalam konflik yang semakin memburuk di Yaman. 
Dilansir dari BBC, Ahad (19/4), sekitar 150 ribu warga telah mengungsi akibat pertempuran. Selain itu, menurut PBB masih ada 12 juta orang kekurangan makanan. Sebelumnya, pasukan koalisi yang dipimpin Saudi telah membom pihak pemberontak Yaman. Koalisi itu berhasil membom 18 dari 22 provinsi wilayah kekuasaan pemberontak di Yaman. Hal itu malah makin memperburuk krisis kemanusiaan yang ada.
PBB mengatakan 731 orang tewas dan 2.754 terluka. Korban lebih banyak dari warga sipil antara bulan Maret dan April. "Keluarga yang berjuang untuk mengakses layanan kesehatan, air, makanan dan bahan bakar merupakan persyaratan dasar untuk kelangsungan hidup mereka," kata Johannes Van Der Klaauw, koordinator kemanusiaan PBB untuk Yaman."
Untuk meningkatkan bantuan, kita sangat membutuhkan sumber daya tambahan. Saya mendorong donor untuk bertindak sekarang untuk mendukung rakyat Yaman saat ini sangat membutuhkan," tuturnya.
PBB mengatakan setidaknya 150 ribu orang terlantar akibat pertempuran itu. Banyak dari mereka berada di tempat penampungan sementara. Bahkan menurut PBB, sebelum konflik saat ini, ada 15,9 juta orang atau 61 persen dari populasi Yaman diperkirakan membutuhkan beberapa jenis bantuan kemanusiaan. 
PBB telah mencoba membawa pihak-pihak yang bertikai kembali berunding, namun masih belum ada nada positif mengenai hal ini.
Pada Selasa 7 April, WHO melaporkan sedikitnya 540 orang tewas dan 1.700 lainnya terluka selama hampir tiga pekan itu.
"Keadaan kemanusiaan sangat genting dengan pemadaman listrik dan air serta kekurangan bahan bakar semakin memperburuk keadaan," demikian pernyataan WHO.
WHO memperkirakan Yaman memerlukan sekira USD62 juta (Rp620 miliar) untuk membayar kebutuhan kesehatannya. Sejauh ini, WHO menerima USD2,7 juta (Rp27 miliar) sumbangan dari Jepang.
Dalam sidang dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah kunjungan-kunjungannya ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, pada Kamis (12 Februari), Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Ban Ki-moon memperingatkan bahwa Yaman “sedang runtuh” dan DK PBB tidak bisa berpangku tangan saja. Dia mencela pasukan Houthi, kelompok milisi sekte Syiah yang telah memojokkan Yaman ke dalam situasi huru-hara setelah menduduki ibukota Sanaa sejak September 2014 dan merebut kontrol Pemerintah pada pekan lalu. Menurut Sekjen Ban Ki-moon, ini merupakan tindakan kudeta dan pasukan Houthi harus mengembalikan kekuasaan serta menghapuskan tahanan rumah terhadap Presiden dan Perdana Menteri Yaman.
            Instabilitas keamanan dan politik di Yaman telah memaksa banyak negara Barat, diantaranya ada Amerika Serikat, Inggeris, Perancis dan Jerman menutup Kedutaan Besarnya di Sanaa, mengungsikan staf diplomat dan keluarga mereka pulang kembali ke kampung halaman, bersamaan itu memperingatkan para warga negaranya supaya secepat-cepatnya meninggalkan Yaman. Para staf Kedutaan Besar Amerika Serikat telah memusnahkan semua dokumen rahasia dan peralatan yang sensitif sebelum menarik kembali ke Tanah Air.

3.3 Peran Indonesia

Jika Indonesia tidak memanfaatkan potensi Muslim mayoritasnya sebagai kekuatan untuk loby ketika ada konflik di Timur tengah maka sama saja Pemerintah melakukan pengabaian terhadap warganya, imbas dari kealpaan itu adalah pemulangan WNI besar-besaran dari Irak, Suriah dan kini Yaman. Jumlah WNI di Yaman 4.159 orang dengan perincian 2.626 Mahasiswa, 1.488 Pekerja perusahaan Minyak dan Gas serta sisanya staf Kedutaan.
Saat ini kita tidak melihat Indonesia mengambil peran penting dalam menetralkan situasi yang bergejolak di Timur Tengah, padahal Indonesia memiliki kepentingan besar jika situasi aman dapat berlangsung permanen. Mestinya Pemerintah mendesak Konfrensi Negara-Negara Islam untuk menghentikan agresi, invasi Arab Saudi dan 10 negara pendukungnya terhadap Yaman, bahkan membawa persoalan ini kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selanjutnya Indonesia mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengambil peran menghentikan kehebohan yang hanya mengorbankan warga sipil yang tidak berdosa.
Menurut Dewan HAM PBB tercatat 93 warga sipil tewas, 364 lainnya terluka setelah gempuran pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi 6 hari terakhir untuk mengusir Al Houti dan angka ini akan terus bertambah seiring tidak adanya upaya gencatan senjata yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,OKI dan lain sebagainya. Indonesia yang memiliki politik luar negeri “Bebas Aktif” tidak diperankan kembali oleh rezim hari ini.
Rezim jangan hanya larut mencari Investasi tapi juga tetap memperlihatkan dirinya sebagai bagian dari perdamaian dunia, karena itu wajib bagi Indonesia untuk berdialog dengan rezim Arab Saudi serta sekutunya agar menghentikan invasi terhadap Negeri Yaman. Jika dalam waktu dekat Pemerintah tidak bisa mengambil peran aktif maka dampaknya sejumlah Negara Arab termasuk Yaman akan sulit menjadi tempat belajar bagi para Mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Timur Tengah, serta Tenaga Kerja Indonesia kehilangan lahan kerja di Timur tengah.

Satu lagi momen yang bisa digunakan meskipun itu sangat terlambat yaitu Konfrensi Asia Afrika (KAA) yang akan di gelar di Bandung dalam waktu dekat, kemungkinan KAA akan dihadiri oleh 35 Negara dan baru 27 yang memberikan konfirmasi kedatangannya. Mungkinkah panitia bisa menambah agenda konferensi menajamkan sorotan negara-negara Asia Afrika terhadap konflik di Timur Tengah, lebih khusus dan urgen di Yaman. Bisakah KAA merekomendasikan penghentian invasi Saudi Arabia dan 10 sekutunya yang kini menjadi imperialisme baru sesama negara Arabnya, sekali lagi Indonesia memiliki peran strategis untuk perdamaian dunia yang harus digunakan.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Penyebab Konflik Arab Saudi-Yaman
            Dahulu kala, Yaman yang terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan adalah negeri yang damai, bahkan Yaman dikenal dengan negeri Arabia Felix (Arab yang berbahagia). Namun sejak tahun 1994, sebutan tersebut tidak lekat di Yaman  lagi, karena Yaman kini tengah dalam pusaran ‘seuta konflik’ di berbagai sisi negeri.
Pada tahun 1994, konflik perang saudara menerpa Yaman antara pemerintah Yaman dengan pengikut partai sosialis di wilayah selatan Yaman. Konflik ini dipicu kinginan untuk melepaskan diri dan membentuk kembali Negara Yaman Selatan. Perang yang dikenal dengan sebutan “Perang Musim Panas 94” ini berakhir setelah Pemerintah Yaman berhasil menguasai keadaan.
 Setelah Yaman bagian selatan reda, Yaman kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi di wilayah utara, di Provinsi Sa’adah yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Kelompok Al-Houthi ini sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada tahun 2004 mulai melakukan perlawanan total.

Kelompok-kelompok Utama dalam Konflik Yaman:
1.      Ikhwanul Muslimin vs Imam Yahya (Syiah Zaidiyah)
Yaman  tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut); sementara Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Italia mengakui pemerintahan Imam Yahya, sementara Inggris menentangnya karena tekad Imam Yahya adalah mengusir Inggris dan menyatukan Yaman.
Inggris (dan Mesir) membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman.”
Pemerintahan baru ini memperluas gerakan untuk menguasai Yaman selatan (yang dikuasai Inggris), dengan meminta bantuan militer dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser yang mengirim 70.000 tentara ke Yaman (1962-1965).
Inggris, yang memusuhi Nasser akibat aksinya menasionalisasi Terusan Suez tahun 1956, menggunakan konflik internal Yaman untuk melemahkan Nasser, dengan bantuan Mossad, CIA, intelijen Arab Saudi, dan SAVAK (intel Iran zaman Syah Pahlevi). Selama tahun 1960-an, AS menyuplai perlengkapan militer Arab Saudi senilai 500 juta Dollar (agar Arab Saudi semakin kuat dan memegang kendali dalam konflik di Yaman). Tahun 1968, Nasser mundur dari Yaman, dan setahun sebelumnya, Inggris juga angkat kaki dari negara itu.
Namun, kelompok pro Naser masih eksis hingga sekarang dan menjadi salah satu aktor utama politik Yaman, yaitu the Nasserite Unionist People’s Organization.
2.                  Partai Sosialis vs Ikhwanul Muslimin
Tahun 1967, the National Liberation Front (NLF) yang berhaluan Marxis menguasai Yaman selatan dan membentuk negara independen (Republik Rakyat Demokratik Yaman). Sementara itu, sejak tahun 1978, Republik Arab Yaman dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh.
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 membuat kedua pemerintahan Yaman yang memang lemah memutuskan memulai negosiasi untuk bersatu. Pada Mei 1990, terbentuklah pemerintahan persatuan dengan nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden. Untuk menundukkan orang-orang sosialis, Saleh bekerja sama dengan anasir Ikhwanul Muslimin (Partai Islah atau Partai Reformasididirikan 13 Sept 1993. Menurut pendirinya, Syekh Abdullah bin Hasan al-Ahmar, tujuan utama didirikannya partai ini adalah untuk melawan orang-orang sosialis). Saleh harus menggunakan tangan Partai Islah, karena partainya sendiri (the General People’s Congress) terikat perjanjian unifikasi dengan Partai Sosialis.
Namun belakangan, IM dan Sosialis (dan Nasserite) justru bergabung untuk melawan Saleh; mereka membentuk Joint Meeting Parties (JMP).
3.                  Rezim Saleh vs Ikhwanul Muslimin
Kekuasaan Ikhwanul Muslimin (IM) di Yaman sangat besar sejak mereka berhasil menggulingkan Imam Yahya. Mereka menguasai separuh institusi pendidikan di Yaman (dan mendapatkan dana yang besar dari Arab Saudi). Tokoh IM juga menjadi pejabat di Dinas Intel dan berperan besar dalam membungkam kelompok kiri dan komunis. Empat menteri penting juga dijabat orang IM (menkeu, mendagri, mendiknas, dan menkeh). Pejabat-pejabat penting di pemerintahan pun banyak yang dipegang tokoh IM.
Pengaruh besar IM ini membuat khawatir Presiden Saleh dan sejak tahun 2001, ia mulai melucuti kekuasaan IM dengan cara merombak sistem pendidikan. Sejak itu konflik antara kedua faksi ini semakin meluas. Bila pada pilpres 1999, IM (Partai Islah/Partai Reformis) mencalonkan Saleh sebagai kandidat presiden, tahun 2006 mereka mendukung lawan Saleh, Faisal Bin Shamlan (namun Saleh tetap menang pilpres).
4.                  Rezim Saleh vs Sosialis dan Suku Houthi (Ansarullah)
Meskipun memiliki cadangan minyak yang kaya dan posisi yang sangat strategis, Yaman adalah negara miskin, menghadapi krisis pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Berbagai gerakan pemberontakan terhadap Rezim Saleh bermunculan. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu.
Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (lagi-lagi dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
5.                  Rezim Saleh – Amerika – Al Qaida – Kelompok Salafi
Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Al Fadhli dan iparnya, Jenderal Mohsen Al Ahmar, kemudian menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Saleh. Mohsen adalah pelindung utama Saleh dalam menghadapi berbagai pemberontakan, termasuk dalam upaya membungkam suku Houthi. Namun bulan madu Saleh-Mohsen mulai buyar sejak tahun 2000, karena kekhawatiran Saleh bila kubu Mohsen kelak akan merebut kekuasaan dari kubu Saleh. Kekuasaan Mohsen kemudian dilucuti satu demi satu. Mohsen pun bersekutu dengan keturunan Husein Al Ahmar (pendiri Partai Islah/Reformis) untuk menggulingkan Saleh.
Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP, anehnya, adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. William Engdahl menyebut fakta ini memunculkan kecurigaan bahwa tujuan utama CIA dan Pentagon melakukan teknik brutal kepada tawanan Guantanamo sejak September 2001 adalah untuk mentraining ‘sleeper terrorists’ (teroris tidur) yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan sesuai komando intelijen AS. Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Saleh membebaskan 700 narapidana teroris dengan alasan ‘mereka sudah berkelakuan baik’.
Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak.
Atas alasan untuk menumpas Al Qaida pula, pada tahun 2010, Presiden Saleh dan Jenderal Petraeus dari AS bertemu. Petraeus menjanjikan bantuan “dana keamanan” 14 kali lipat lebih besar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar), dan imbalannya, Saleh mengizinkan Pulau Socotra untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.
Namun, akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman. Pada 21 Maret 2015, ISIS mengebom sebuah masjid di Sanaa (ibu kota Yaman), yang jamaahnya sebagian besar muslim Syiah Zaidiah yang tengah menunaikan sholat Jumat (142 tewas, 351 lainnya terluka).
Era Arab Spring
Melihat track record Presiden Saleh yang selalu berperang dengan rakyatnya sendiri dan kemiskinan yang semakin mencekik rakyat, tentu tidak mengherankan bila pada tahun 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran dirinya. Masifnya gerakan demo di Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansur Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan penting di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman, termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.
Singkat kata, pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk suku Houthi (gerakan Ansarullah). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi.
Gerakan Ansarullah bahkan berhasil menggalang demo besar-besaran (rakyat umum, tidak sebatas suku Houthi) sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan dilakukannya reformasi politik. Menyusul aksi demo ini, Perdana Menteri Salim Basindwa mundur dari jabatannya dan Presiden Mansur Hadi bersedia menandatangani perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai politik yang ada. Perjanjian ini menandai semakin meluasnya pengaruh Ansarullah (Syiah Houthi) di pusat kekuasaan Yaman. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan meminta bantuan militer dari Saudi. Sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu negara-negara Teluk dan Israel, serta didukung oleh AS membombardir Yaman.

2.2. Kronologi Konflik Yaman hingga Kini

Kronologi Konflik Yaman hingga KiniKonflik bersenjata di Yaman yang semakin besar adalah hasil dari gejolak sebelumnya yang terjadi selama bertahun-tahun. Konflik ini jika dicari awal mulanya adalah dampak dari gelombang Arab Spring yang terjadi pada akhir 2010.
Gelombang Arab Spring yang melanda negara-negara Timur Tengah bermula dari ketidakpuasan warga negara-negara Arab terhadap pemerintah mereka. Gelombang protes yang pertama pecah di Tunisia pada Desember 2010, kemudian menyebar ke negara Arab lainnya.
Berikut ini kronologi konflik Yaman yang coba dijelaskan melalui peristiwa-peristiwa penting yang terjadi hingga kini.
27 Januari 2011, gelombang protes mencapai Yaman. Warga menuntut turunnya Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh. Protes-protes yang terjadi menimbulkan banyak korban jiwa. Sampai Presiden Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatan, korban jiwa dari warga sipil telah mencapai 2.000 orang lebih. Keadaan ini diperparah dengan aktifnya kelompok Al Qaeda Semenanjung Arab (AQAP) yang berkonflik dengan Pemerintah Yaman.
24 Februari 2012, Presiden Ali Abdullah Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Pihak oposisi kemudian menunjuk Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Penunjukan Hadi sebagai Presiden Yaman langsung mendapat reaksi keras dari AQAP yang menuduhnya antek Amerika Serikat (AS).
Ketidakstabilan politik di Yaman yang terjadi selama upaya penggulingan Ali Abdullah Saleh menjadi celah bagi kelompok pemberontak Houthi yang beraliran Syiah untuk coba merebut kekuasaan dari pemerintah.
Konflik antara Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi sebenarnya berlangsung jauh sebelum gelombang Arab Spring melanda. Konflik ini disebabkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap warga Syiah Yaman.
Keadaan Yaman makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili oleh Kelompok Houthi dengan kaum Sunni yang berada di pihak Pemerintah Yaman.
17 September 2014, pertempuran antara pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi berlangsung di tepi ibu kota Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir.
20 September 2014, gedung stasiun televisi milik Pemerintah Yaman dibakar setelah konflik antara mereka dengan Kelompok Houthi semakin panas. Beberapa gedung lain juga menjadi rusak parah. Televisi Yaman telah meminta bantuan internasional dan nasional untuk melakukan evakuasi.
24 September 2014, Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata yang diajukan oleh Kelompok Houthi. PM Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.
20 Januari 2015, Kelompok Houthi menyerang Istana PM Yaman setelah sehari sebelumnya menyerang istana kepresidenan. Serangan ini diakhiri dengan gencatan senajata oleh kedua belah pihak.
23 Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Mundurnya Hadi membuat kekuasaan di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan dari warga Yaman.
Februari 2015, Beberapa negara menutup kedutaan mereka di Yaman karena mengetahui situasi di Sanaa semakin buruk.
22 Februari 2015, Presiden Hadi berhasil melarikan diri ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB.
24 Februari 2015, Presiden Hadi menarik pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman.
20 Maret 2015, dua bom bunuh diri mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan keterlibatan mereka dalam konflik.
23 Maret 2015, Presiden Hadi mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman, sekaligus meminta bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di sana.
26 Maret 2015, Arab Saudi menyanggupi permintaan Presiden Hadi dan memulai serangan udara ke Yaman.

Saat ini konflik di Yaman terlihat terus terjadi. Ditambah lagi dengan kemungkinan bergabungnya Iran untuk membantu saudara Syiah mereka yakni Kelompok Houthi. Serangan udara dari pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi telah memasuki hari ketiga saat makalah ini ditulis, dan sampai saat ini korban masih terus berjatuhan.
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
            Konflik adalah proses sosial yang terjadi ketika pihak yang satu berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Sedangkan konflik internasional adalah konflik yang terjadi antar bangsa-bangsa di dunia yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan.
            Di peta terlihat bahwa Yaman berbatasan darat dengan Arab Saudi, dan menguasai perairan strategis Bab el Mandab dan teluk Aden, dan bahkan menguasai pulau Socotra yang kini menjadi pangkalan militer AS. Jalur perairan ini sangat penting karena menjadi tempat lewatnya kapal-kapal tanker pembawa minyak dari Teluk Persia ke Eropa (melewati Terusan Suez). AS sangat berambisi mengontrol jalur minyak ini dan di saat yang sama, secara ekonomi Iran pun terancam bila AS sampai menguasai jalur tersebut. Selain itu, meski saat ini produksi minyak Yaman hanya 0,2% dari total produksi minyak dunia, negeri ini menyimpan cadangan minyak yang sangat sangat besar.

B.   Tujuan Penulisan
Memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Kewargaegaraan.
Mengetahui penyebab dan kronologi konflik antara Arab Saudi dan Yaman.

C.   Rumusan Masalah
Apakah penyebab dari konflik antara Arab Saudi dan Yaman ?
Bagaimanakah kronologi dari konflik tersebut ?
Bagamanakah bentuk penyelesaian dari konflik tersebut ?
Adakah peran lembaga internasional dalam mengatasi konflik tersebut ?

Total Pageviews