BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Penyebab Konflik Arab Saudi-Yaman
Dahulu
kala, Yaman yang terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan adalah negeri yang
damai, bahkan Yaman dikenal dengan negeri Arabia Felix (Arab yang berbahagia).
Namun sejak tahun 1994, sebutan tersebut tidak lekat di Yaman lagi, karena Yaman kini tengah dalam pusaran
‘seuta konflik’ di berbagai sisi negeri.
Pada tahun 1994, konflik perang
saudara menerpa Yaman antara pemerintah Yaman dengan pengikut partai sosialis
di wilayah selatan Yaman. Konflik ini dipicu kinginan untuk melepaskan diri dan
membentuk kembali Negara Yaman Selatan. Perang yang dikenal dengan sebutan
“Perang Musim Panas 94” ini berakhir setelah Pemerintah Yaman berhasil
menguasai keadaan.
Setelah Yaman bagian selatan reda, Yaman
kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi di wilayah utara, di Provinsi
Sa’adah yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Kelompok Al-Houthi ini
sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada tahun 2004 mulai melakukan
perlawanan total.
Kelompok-kelompok
Utama dalam Konflik Yaman:
1. Ikhwanul
Muslimin vs Imam Yahya (Syiah Zaidiyah)
Yaman tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium
Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris
menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut);
sementara Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah,
yang membentuk Kerajaan Yaman. Italia mengakui pemerintahan Imam Yahya,
sementara Inggris menentangnya karena tekad Imam Yahya adalah mengusir Inggris
dan menyatukan Yaman.
Inggris (dan Mesir) membacking gerakan “Free
Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962
berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik
Arab Yaman.”
Pemerintahan baru ini memperluas gerakan untuk
menguasai Yaman selatan (yang dikuasai Inggris), dengan meminta bantuan militer
dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser yang mengirim 70.000 tentara ke Yaman
(1962-1965).
Inggris, yang memusuhi Nasser akibat aksinya
menasionalisasi Terusan Suez tahun 1956, menggunakan konflik internal Yaman
untuk melemahkan Nasser, dengan bantuan Mossad, CIA, intelijen Arab Saudi, dan
SAVAK (intel Iran zaman Syah Pahlevi). Selama tahun 1960-an, AS menyuplai
perlengkapan militer Arab Saudi senilai 500 juta Dollar (agar Arab Saudi
semakin kuat dan memegang kendali dalam konflik di Yaman). Tahun 1968, Nasser
mundur dari Yaman, dan setahun sebelumnya, Inggris juga angkat kaki dari negara
itu.
Namun, kelompok pro Naser masih eksis hingga
sekarang dan menjadi salah satu aktor utama politik Yaman, yaitu the Nasserite Unionist
People’s Organization.
2.
Partai Sosialis vs Ikhwanul Muslimin
Tahun 1967, the National Liberation Front (NLF)
yang berhaluan Marxis menguasai Yaman selatan dan membentuk negara independen
(Republik Rakyat Demokratik Yaman). Sementara itu, sejak tahun 1978, Republik
Arab Yaman dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh.
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 membuat
kedua pemerintahan Yaman yang memang lemah memutuskan memulai negosiasi untuk
bersatu. Pada Mei 1990, terbentuklah pemerintahan persatuan dengan nama
Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim
Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi
wakil presiden. Untuk menundukkan orang-orang sosialis, Saleh bekerja sama
dengan anasir Ikhwanul Muslimin (Partai Islah atau Partai
Reformasididirikan 13 Sept 1993. Menurut pendirinya, Syekh Abdullah
bin Hasan al-Ahmar, tujuan utama didirikannya partai ini adalah untuk melawan
orang-orang sosialis). Saleh harus menggunakan tangan Partai Islah, karena
partainya sendiri (the General People’s Congress) terikat perjanjian unifikasi
dengan Partai Sosialis.
Namun belakangan, IM dan Sosialis (dan
Nasserite) justru bergabung untuk melawan Saleh; mereka membentuk Joint Meeting
Parties (JMP).
3.
Rezim Saleh vs Ikhwanul Muslimin
Kekuasaan
Ikhwanul Muslimin (IM) di Yaman sangat besar sejak mereka berhasil
menggulingkan Imam Yahya. Mereka menguasai separuh institusi pendidikan di
Yaman (dan mendapatkan dana yang besar dari Arab Saudi). Tokoh IM juga menjadi
pejabat di Dinas Intel dan berperan besar dalam membungkam kelompok kiri dan
komunis. Empat menteri penting juga dijabat orang IM (menkeu, mendagri,
mendiknas, dan menkeh). Pejabat-pejabat penting di pemerintahan pun banyak yang
dipegang tokoh IM.
Pengaruh
besar IM ini membuat khawatir Presiden Saleh dan sejak tahun 2001, ia mulai
melucuti kekuasaan IM dengan cara merombak sistem pendidikan. Sejak itu konflik
antara kedua faksi ini semakin meluas. Bila pada pilpres 1999, IM (Partai
Islah/Partai Reformis) mencalonkan Saleh sebagai kandidat presiden, tahun 2006
mereka mendukung lawan Saleh, Faisal Bin Shamlan (namun Saleh tetap menang
pilpres).
4.
Rezim Saleh vs Sosialis dan Suku Houthi
(Ansarullah)
Meskipun memiliki cadangan minyak yang kaya dan
posisi yang sangat strategis, Yaman adalah negara miskin, menghadapi krisis
pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Berbagai gerakan pemberontakan terhadap
Rezim Saleh bermunculan. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur
dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil.
Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin)
akhirnya menundukkan pemberontakan itu.
Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab
Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas
diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan
senjata oleh Saleh (lagi-lagi dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil
yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada
rentang 2004-2008.
5.
Rezim Saleh – Amerika – Al Qaida – Kelompok
Salafi
Tahun
2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang
dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli
adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam
faksi sosialis. Al Fadhli dan iparnya, Jenderal Mohsen Al Ahmar, kemudian
menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Saleh. Mohsen adalah pelindung utama
Saleh dalam menghadapi berbagai pemberontakan, termasuk dalam upaya membungkam
suku Houthi. Namun bulan madu Saleh-Mohsen mulai buyar sejak tahun 2000, karena
kekhawatiran Saleh bila kubu Mohsen kelak akan merebut kekuasaan dari kubu
Saleh. Kekuasaan Mohsen kemudian dilucuti satu demi satu. Mohsen pun bersekutu
dengan keturunan Husein Al Ahmar (pendiri Partai Islah/Reformis) untuk
menggulingkan Saleh.
Di
masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang
memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP, anehnya, adalah
dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith
Muhammad al-Awfi. William Engdahl menyebut fakta ini memunculkan kecurigaan
bahwa tujuan utama CIA dan Pentagon melakukan teknik brutal kepada tawanan
Guantanamo sejak September 2001 adalah untuk mentraining ‘sleeper terrorists’
(teroris tidur) yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan sesuai komando intelijen AS.
Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Saleh membebaskan 700 narapidana
teroris dengan alasan ‘mereka sudah berkelakuan baik’.
Mengingat
donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang
didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu
kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski
Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS
tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011,
korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden
Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak.
Atas
alasan untuk menumpas Al Qaida pula, pada tahun 2010, Presiden Saleh dan
Jenderal Petraeus dari AS bertemu. Petraeus menjanjikan bantuan “dana keamanan”
14 kali lipat lebih besar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima
Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar), dan imbalannya, Saleh mengizinkan
Pulau Socotra untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.
Namun,
akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida
Yaman. Pada 21
Maret 2015, ISIS mengebom sebuah masjid di Sanaa (ibu kota Yaman), yang
jamaahnya sebagian besar muslim Syiah Zaidiah yang tengah menunaikan sholat
Jumat (142 tewas, 351 lainnya terluka).
Era Arab
Spring
Melihat
track record Presiden Saleh yang selalu berperang dengan rakyatnya sendiri dan
kemiskinan yang semakin mencekik rakyat, tentu tidak mengherankan bila pada
tahun 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai
suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran dirinya. Masifnya gerakan
demo di Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33
tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh
Mansur Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh
Mansur Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan
penting di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman,
termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.
Singkat
kata, pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman
adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak
berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk suku
Houthi (gerakan Ansarullah). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula
berharap terjadinya reformasi.
Gerakan
Ansarullah bahkan berhasil menggalang demo besar-besaran (rakyat umum, tidak
sebatas suku Houthi) sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan
dilakukannya reformasi politik. Menyusul aksi demo ini, Perdana Menteri Salim
Basindwa mundur dari jabatannya dan Presiden Mansur Hadi bersedia
menandatangani perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia
membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai
politik yang ada. Perjanjian ini menandai semakin meluasnya pengaruh Ansarullah
(Syiah Houthi) di pusat kekuasaan Yaman. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih
lari ke Arab Saudi dan meminta bantuan militer dari Saudi. Sejak 26 Maret 2015,
Arab Saudi dibantu negara-negara Teluk dan Israel, serta didukung oleh AS
membombardir Yaman.
2.2. Kronologi Konflik Yaman hingga Kini

Gelombang Arab Spring yang melanda negara-negara Timur
Tengah bermula dari ketidakpuasan warga negara-negara Arab terhadap pemerintah
mereka. Gelombang protes yang pertama pecah di Tunisia pada Desember 2010,
kemudian menyebar ke negara Arab lainnya.
Berikut ini kronologi konflik Yaman yang coba
dijelaskan melalui peristiwa-peristiwa penting yang terjadi hingga kini.
27
Januari 2011, gelombang protes
mencapai Yaman. Warga menuntut turunnya Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah
Saleh. Protes-protes yang terjadi menimbulkan banyak korban jiwa. Sampai
Presiden Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatan, korban jiwa dari warga sipil
telah mencapai 2.000 orang lebih. Keadaan ini diperparah dengan aktifnya
kelompok Al Qaeda Semenanjung Arab (AQAP) yang berkonflik dengan Pemerintah
Yaman.
24
Februari 2012, Presiden Ali Abdullah
Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Pihak oposisi kemudian menunjuk
Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Penunjukan Hadi
sebagai Presiden Yaman langsung mendapat reaksi keras dari AQAP yang menuduhnya
antek Amerika Serikat (AS).
Ketidakstabilan politik di Yaman yang terjadi selama
upaya penggulingan Ali Abdullah Saleh menjadi celah bagi kelompok pemberontak
Houthi yang beraliran Syiah untuk coba merebut kekuasaan dari pemerintah.
Konflik antara Pemerintah Yaman
dengan Kelompok Houthi sebenarnya
berlangsung jauh sebelum gelombang Arab Spring melanda. Konflik ini disebabkan
perbedaan perlakuan pemerintah terhadap warga Syiah Yaman.
Keadaan
Yaman makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili
oleh Kelompok Houthi dengan kaum Sunni yang berada di pihak Pemerintah Yaman.
17
September 2014, pertempuran antara
pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi berlangsung di tepi ibu kota
Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir.
20
September 2014, gedung stasiun televisi
milik Pemerintah Yaman dibakar setelah konflik antara mereka dengan Kelompok
Houthi semakin panas. Beberapa gedung lain juga menjadi rusak parah. Televisi
Yaman telah meminta bantuan internasional dan nasional untuk melakukan
evakuasi.
24
September 2014, Perdana Menteri Yaman
Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata
yang diajukan oleh Kelompok Houthi. PM Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.
20
Januari 2015, Kelompok Houthi
menyerang Istana PM Yaman setelah sehari sebelumnya menyerang istana
kepresidenan. Serangan ini diakhiri dengan gencatan senajata oleh kedua belah
pihak.
23
Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi
menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Mundurnya Hadi membuat kekuasaan
di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan
dari warga Yaman.
Februari
2015, Beberapa negara menutup
kedutaan mereka di Yaman karena mengetahui situasi di Sanaa semakin buruk.
22
Februari 2015, Presiden Hadi berhasil
melarikan diri ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB.
24
Februari 2015, Presiden Hadi menarik
pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara
Yaman.
20
Maret 2015, dua bom bunuh diri
mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok
militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan
keterlibatan mereka dalam konflik.
23
Maret 2015, Presiden Hadi mengumumkan
Aden sebagai ibu kota sementara Yaman, sekaligus meminta bantuan dari Arab
Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di sana.
26
Maret 2015, Arab Saudi menyanggupi
permintaan Presiden Hadi dan memulai serangan udara ke Yaman.
Saat ini
konflik di Yaman terlihat terus terjadi. Ditambah lagi dengan kemungkinan
bergabungnya Iran untuk membantu saudara Syiah mereka yakni Kelompok Houthi.
Serangan udara dari pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi telah memasuki
hari ketiga saat makalah ini ditulis, dan sampai saat ini korban masih terus
berjatuhan.
No comments:
Post a Comment