Monday, 13 July 2015

Makalah Mengenai Konflik Arab-Yaman (BAB II)

BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Penyebab Konflik Arab Saudi-Yaman
            Dahulu kala, Yaman yang terdiri dari Yaman Utara dan Yaman Selatan adalah negeri yang damai, bahkan Yaman dikenal dengan negeri Arabia Felix (Arab yang berbahagia). Namun sejak tahun 1994, sebutan tersebut tidak lekat di Yaman  lagi, karena Yaman kini tengah dalam pusaran ‘seuta konflik’ di berbagai sisi negeri.
Pada tahun 1994, konflik perang saudara menerpa Yaman antara pemerintah Yaman dengan pengikut partai sosialis di wilayah selatan Yaman. Konflik ini dipicu kinginan untuk melepaskan diri dan membentuk kembali Negara Yaman Selatan. Perang yang dikenal dengan sebutan “Perang Musim Panas 94” ini berakhir setelah Pemerintah Yaman berhasil menguasai keadaan.
 Setelah Yaman bagian selatan reda, Yaman kembali digoyang pemberontakan kelompok Al-Houthi di wilayah utara, di Provinsi Sa’adah yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi. Kelompok Al-Houthi ini sebenarnya ada sejak tahun 1994, namun pada tahun 2004 mulai melakukan perlawanan total.

Kelompok-kelompok Utama dalam Konflik Yaman:
1.      Ikhwanul Muslimin vs Imam Yahya (Syiah Zaidiyah)
Yaman  tadinya berada di bawah kekuasaan Imperium Ottoman. Kemudian, setelah Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Inggris menguasai Yaman selatan (terutama wilayah Aden yang menguasai jalur laut); sementara Yaman utara dikuasai oleh Imam Yahya yang bermazhab Syiah Zaidiah, yang membentuk Kerajaan Yaman. Italia mengakui pemerintahan Imam Yahya, sementara Inggris menentangnya karena tekad Imam Yahya adalah mengusir Inggris dan menyatukan Yaman.
Inggris (dan Mesir) membacking gerakan “Free Yemenis” yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini pada tahun 1962 berhasil menggulingkan pemerintahan Imam Yahya dan memproklamasikan “Republik Arab Yaman.”
Pemerintahan baru ini memperluas gerakan untuk menguasai Yaman selatan (yang dikuasai Inggris), dengan meminta bantuan militer dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser yang mengirim 70.000 tentara ke Yaman (1962-1965).
Inggris, yang memusuhi Nasser akibat aksinya menasionalisasi Terusan Suez tahun 1956, menggunakan konflik internal Yaman untuk melemahkan Nasser, dengan bantuan Mossad, CIA, intelijen Arab Saudi, dan SAVAK (intel Iran zaman Syah Pahlevi). Selama tahun 1960-an, AS menyuplai perlengkapan militer Arab Saudi senilai 500 juta Dollar (agar Arab Saudi semakin kuat dan memegang kendali dalam konflik di Yaman). Tahun 1968, Nasser mundur dari Yaman, dan setahun sebelumnya, Inggris juga angkat kaki dari negara itu.
Namun, kelompok pro Naser masih eksis hingga sekarang dan menjadi salah satu aktor utama politik Yaman, yaitu the Nasserite Unionist People’s Organization.
2.                  Partai Sosialis vs Ikhwanul Muslimin
Tahun 1967, the National Liberation Front (NLF) yang berhaluan Marxis menguasai Yaman selatan dan membentuk negara independen (Republik Rakyat Demokratik Yaman). Sementara itu, sejak tahun 1978, Republik Arab Yaman dipimpin oleh Presiden Ali Abdullah Saleh.
Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990 membuat kedua pemerintahan Yaman yang memang lemah memutuskan memulai negosiasi untuk bersatu. Pada Mei 1990, terbentuklah pemerintahan persatuan dengan nama Republik Arab Yaman, dengan Ali Abdullah Saleh sebagai presiden dan Ali Salim Beidh (semula Presiden Yaman selatan, berasal dari partai sosialis) menjadi wakil presiden. Untuk menundukkan orang-orang sosialis, Saleh bekerja sama dengan anasir Ikhwanul Muslimin (Partai Islah atau Partai Reformasididirikan 13 Sept 1993. Menurut pendirinya, Syekh Abdullah bin Hasan al-Ahmar, tujuan utama didirikannya partai ini adalah untuk melawan orang-orang sosialis). Saleh harus menggunakan tangan Partai Islah, karena partainya sendiri (the General People’s Congress) terikat perjanjian unifikasi dengan Partai Sosialis.
Namun belakangan, IM dan Sosialis (dan Nasserite) justru bergabung untuk melawan Saleh; mereka membentuk Joint Meeting Parties (JMP).
3.                  Rezim Saleh vs Ikhwanul Muslimin
Kekuasaan Ikhwanul Muslimin (IM) di Yaman sangat besar sejak mereka berhasil menggulingkan Imam Yahya. Mereka menguasai separuh institusi pendidikan di Yaman (dan mendapatkan dana yang besar dari Arab Saudi). Tokoh IM juga menjadi pejabat di Dinas Intel dan berperan besar dalam membungkam kelompok kiri dan komunis. Empat menteri penting juga dijabat orang IM (menkeu, mendagri, mendiknas, dan menkeh). Pejabat-pejabat penting di pemerintahan pun banyak yang dipegang tokoh IM.
Pengaruh besar IM ini membuat khawatir Presiden Saleh dan sejak tahun 2001, ia mulai melucuti kekuasaan IM dengan cara merombak sistem pendidikan. Sejak itu konflik antara kedua faksi ini semakin meluas. Bila pada pilpres 1999, IM (Partai Islah/Partai Reformis) mencalonkan Saleh sebagai kandidat presiden, tahun 2006 mereka mendukung lawan Saleh, Faisal Bin Shamlan (namun Saleh tetap menang pilpres).
4.                  Rezim Saleh vs Sosialis dan Suku Houthi (Ansarullah)
Meskipun memiliki cadangan minyak yang kaya dan posisi yang sangat strategis, Yaman adalah negara miskin, menghadapi krisis pangan, dan ketidakadilan ekonomi. Berbagai gerakan pemberontakan terhadap Rezim Saleh bermunculan. Tahun 1994, Wapres Ali Salim Beidh (sosialis) mundur dan kelompok sosialis kemudian angkat senjata dan terjadilah perang sipil. Presiden Saleh, dibantu oleh Arab Saudi (dan Partai Islah/Ikhwanul Muslimin) akhirnya menundukkan pemberontakan itu.
Sejak tahun 2004, suku Houthi yang bermazhab Syiah Zaidiyah menuntut otonomi khusus di wilayah Saada sebagai protes atas diskriminasi dan penindasan dari rezim Saleh. Tuntutan ini dihadapi dengan senjata oleh Saleh (lagi-lagi dibantu Arab Saudi), dan meletuslah perang sipil yang menewaskan lebih dari 5000 tentara dan rakyat sipil (suku Houthi) pada rentang 2004-2008.
5.                  Rezim Saleh – Amerika – Al Qaida – Kelompok Salafi
Tahun 2009, kelompok Salafi (Gerakan Yaman Selatan/ al Hirak al Janoubi) yang dipimpin kelompok Tareq Al Fadhli angkat senjata melawan rezim Saleh. Al Fadhli adalah alumnus jihad Afganistan yang berperan membantu Saleh dalam membungkam faksi sosialis. Al Fadhli dan iparnya, Jenderal Mohsen Al Ahmar, kemudian menjadi tokoh penting dalam pemerintahan Saleh. Mohsen adalah pelindung utama Saleh dalam menghadapi berbagai pemberontakan, termasuk dalam upaya membungkam suku Houthi. Namun bulan madu Saleh-Mohsen mulai buyar sejak tahun 2000, karena kekhawatiran Saleh bila kubu Mohsen kelak akan merebut kekuasaan dari kubu Saleh. Kekuasaan Mohsen kemudian dilucuti satu demi satu. Mohsen pun bersekutu dengan keturunan Husein Al Ahmar (pendiri Partai Islah/Reformis) untuk menggulingkan Saleh.
Di masa ini, muncul aktor baru di Yaman, yaitu Al Qaida Arab Peninsula (AQAP) yang memproklamasikan diri pada tahun 2009. Dua tokoh utama AQAP, anehnya, adalah dua warga Arab Saudi alumni Guantanamo, Abu-Sayyaf al-Shihri dan Abu-al-Harith Muhammad al-Awfi. William Engdahl menyebut fakta ini memunculkan kecurigaan bahwa tujuan utama CIA dan Pentagon melakukan teknik brutal kepada tawanan Guantanamo sejak September 2001 adalah untuk mentraining ‘sleeper terrorists’ (teroris tidur) yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan sesuai komando intelijen AS. Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Saleh membebaskan 700 narapidana teroris dengan alasan ‘mereka sudah berkelakuan baik’.
Mengingat donatur utama Al Qaida adalah Arab Saudi, dan pembentukan Al Qaida memang didalangi AS dan Arab Saudi (hal ini sudah diakui oleh Hillary Clinton), tentu kemunculan Al Qaida di Yaman adalah demi kepentingan AS.
Meski Al Fadhli menolak tuduhan bahwa dia bekerja sama dengan Al Qaida, namun AS tetap membombardir Yaman dengan alasan mengejar Al Qaida. Antara 2009-2011, korban serangan bom yang diluncurkan pesawat tempur AS (dengan seizin Presiden Saleh) telah menewaskan ratusan rakyat sipil Yaman, termasuk anak-anak.
Atas alasan untuk menumpas Al Qaida pula, pada tahun 2010, Presiden Saleh dan Jenderal Petraeus dari AS bertemu. Petraeus menjanjikan bantuan “dana keamanan” 14 kali lipat lebih besar (dana total sejak 2008 hingga 2010 yang diterima Saleh dari AS mencapai 500 juta dollar), dan imbalannya, Saleh mengizinkan Pulau Socotra untuk dipenuhi dengan berbagai peralatan militer canggih AS.
Namun, akhirnya pada Juni 2014, Al Fadhli menyatakan bergabung dengan Al Qaida. Dan sejak 2015, ISIS menyatakan ikut bergabung dengan Al Qaida Yaman. Pada 21 Maret 2015, ISIS mengebom sebuah masjid di Sanaa (ibu kota Yaman), yang jamaahnya sebagian besar muslim Syiah Zaidiah yang tengah menunaikan sholat Jumat (142 tewas, 351 lainnya terluka).
Era Arab Spring
Melihat track record Presiden Saleh yang selalu berperang dengan rakyatnya sendiri dan kemiskinan yang semakin mencekik rakyat, tentu tidak mengherankan bila pada tahun 2011, seiring dengan gelombang Arab Spring, rakyat Yaman (dari berbagai suku dan mazhab) bangkit berdemo menuntut pengunduran dirinya. Masifnya gerakan demo di Yaman akhirnya berujung pada tergulingnya Saleh yang telah berkuasa 33 tahun. Ia melarikan diri pada November 2011 ke Arab Saudi, dan digantikan oleh Mansur Hadi. Namun, tahun 2012, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansur Hadi. Anak Saleh, Jenderal Ahmed Ali, bahkan tetap memiliki kekuasaan penting di militer. Dalam situasi ini, Al Qaida melakukan aksi-aksi pengeboman, termasuk mengebom istana kepresidenan, menambah kacau situasi di Yaman.
Singkat kata, pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah elit-elit lama, termasuk anasir Al Qaida. Faksi-faksi yang banyak berjuang dalam upaya penggulingan Saleh justru disingkirkan, termasuk suku Houthi (gerakan Ansarullah). Ini memunculkan ketidakpuasan rakyat yang semula berharap terjadinya reformasi.
Gerakan Ansarullah bahkan berhasil menggalang demo besar-besaran (rakyat umum, tidak sebatas suku Houthi) sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM dan dilakukannya reformasi politik. Menyusul aksi demo ini, Perdana Menteri Salim Basindwa mundur dari jabatannya dan Presiden Mansur Hadi bersedia menandatangani perjanjian dengan Ansarullah, yang isinya Mansur bersedia membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan Ansarullah dan semua partai politik yang ada. Perjanjian ini menandai semakin meluasnya pengaruh Ansarullah (Syiah Houthi) di pusat kekuasaan Yaman. Namun kemudian, Mansur Hadi memilih lari ke Arab Saudi dan meminta bantuan militer dari Saudi. Sejak 26 Maret 2015, Arab Saudi dibantu negara-negara Teluk dan Israel, serta didukung oleh AS membombardir Yaman.

2.2. Kronologi Konflik Yaman hingga Kini

Kronologi Konflik Yaman hingga KiniKonflik bersenjata di Yaman yang semakin besar adalah hasil dari gejolak sebelumnya yang terjadi selama bertahun-tahun. Konflik ini jika dicari awal mulanya adalah dampak dari gelombang Arab Spring yang terjadi pada akhir 2010.
Gelombang Arab Spring yang melanda negara-negara Timur Tengah bermula dari ketidakpuasan warga negara-negara Arab terhadap pemerintah mereka. Gelombang protes yang pertama pecah di Tunisia pada Desember 2010, kemudian menyebar ke negara Arab lainnya.
Berikut ini kronologi konflik Yaman yang coba dijelaskan melalui peristiwa-peristiwa penting yang terjadi hingga kini.
27 Januari 2011, gelombang protes mencapai Yaman. Warga menuntut turunnya Presiden Yaman saat itu, Ali Abdullah Saleh. Protes-protes yang terjadi menimbulkan banyak korban jiwa. Sampai Presiden Ali Abdullah Saleh mundur dari jabatan, korban jiwa dari warga sipil telah mencapai 2.000 orang lebih. Keadaan ini diperparah dengan aktifnya kelompok Al Qaeda Semenanjung Arab (AQAP) yang berkonflik dengan Pemerintah Yaman.
24 Februari 2012, Presiden Ali Abdullah Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Pihak oposisi kemudian menunjuk Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Penunjukan Hadi sebagai Presiden Yaman langsung mendapat reaksi keras dari AQAP yang menuduhnya antek Amerika Serikat (AS).
Ketidakstabilan politik di Yaman yang terjadi selama upaya penggulingan Ali Abdullah Saleh menjadi celah bagi kelompok pemberontak Houthi yang beraliran Syiah untuk coba merebut kekuasaan dari pemerintah.
Konflik antara Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi sebenarnya berlangsung jauh sebelum gelombang Arab Spring melanda. Konflik ini disebabkan perbedaan perlakuan pemerintah terhadap warga Syiah Yaman.
Keadaan Yaman makin memanas dengan memuncaknya konflik Sektarian Syiah yang diwakili oleh Kelompok Houthi dengan kaum Sunni yang berada di pihak Pemerintah Yaman.
17 September 2014, pertempuran antara pasukan Pemerintah Yaman dengan Kelompok Houthi berlangsung di tepi ibu kota Sanaa. Pasukan pemberontak menghujani Sanaa dengan serangan mortir.
20 September 2014, gedung stasiun televisi milik Pemerintah Yaman dibakar setelah konflik antara mereka dengan Kelompok Houthi semakin panas. Beberapa gedung lain juga menjadi rusak parah. Televisi Yaman telah meminta bantuan internasional dan nasional untuk melakukan evakuasi.
24 September 2014, Perdana Menteri Yaman Salem Basindwa mengundurkan diri sebagai syarat pembicaraan gencatan senjata yang diajukan oleh Kelompok Houthi. PM Salem digantikan oleh Khaled Bahhah.
20 Januari 2015, Kelompok Houthi menyerang Istana PM Yaman setelah sehari sebelumnya menyerang istana kepresidenan. Serangan ini diakhiri dengan gencatan senajata oleh kedua belah pihak.
23 Januari 2015, Abd Rabbo Mansour Hadi menyatakan mundur dari jabatan Presiden Yaman. Mundurnya Hadi membuat kekuasaan di Yaman lowong. Pemerintahan bentukan Kelompok Houthi tidak mendapat dukungan dari warga Yaman.
Februari 2015, Beberapa negara menutup kedutaan mereka di Yaman karena mengetahui situasi di Sanaa semakin buruk.
22 Februari 2015, Presiden Hadi berhasil melarikan diri ibu kota Sanaa dengan bantuan Dewan Keamanan PBB.
24 Februari 2015, Presiden Hadi menarik pengunduran dirinya. Dia kemudian mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman.
20 Maret 2015, dua bom bunuh diri mengguncang Yaman, menewaskan 142 orang dan melukai ratusan lainnya. Kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini, sekaligus mengumumkan keterlibatan mereka dalam konflik.
23 Maret 2015, Presiden Hadi mengumumkan Aden sebagai ibu kota sementara Yaman, sekaligus meminta bantuan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk memulihkan kekuasaannya di sana.
26 Maret 2015, Arab Saudi menyanggupi permintaan Presiden Hadi dan memulai serangan udara ke Yaman.

Saat ini konflik di Yaman terlihat terus terjadi. Ditambah lagi dengan kemungkinan bergabungnya Iran untuk membantu saudara Syiah mereka yakni Kelompok Houthi. Serangan udara dari pasukan koalisi yang dipimpin Arab Saudi telah memasuki hari ketiga saat makalah ini ditulis, dan sampai saat ini korban masih terus berjatuhan.

No comments:

Post a Comment

Total Pageviews